Hukum Memperingati Maulid Nabi Menurut Ulama

Hukum Memperingati Maulid Nabi Menurut Ulama

02/09/2025 | Humas | Akate

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Selain sebagai bentuk cinta dan penghormatan kepada Rasulullah, tradisi ini juga menjadi sarana mempererat ukhuwah, menebar kebaikan, serta menghidupkan kembali semangat dakwah beliau. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan para ulama mengenai hukum memperingati Maulid Nabi? Berikut beberapa penjelasan ulama besar dari berbagai zaman:

1. Pandangan Imam Abu Syamah (599–665 H)

Imam Abu Syamah, guru dari Imam An-Nawawi, menyebutkan bahwa salah satu amalan baik yang muncul pada masanya adalah peringatan Maulid Nabi. Bentuknya berupa sedekah, melakukan amal kebaikan, memperindah suasana, dan menampakkan rasa bahagia. Semua itu, menurut beliau, menunjukkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW serta rasa syukur kepada Allah atas kelahiran Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.
(Sumber: Al-Baa’its Fii Inkaaril Bida’ wal Hawaadits, hlm. 23–24)

2. Fatwa Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (773–852 H)

Menurut Ibnu Hajar, secara asal Maulid Nabi memang tidak dilakukan oleh generasi awal (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), sehingga disebut sebagai bid’ah. Namun, beliau menegaskan bahwa Maulid memiliki sisi positif dan negatif. Apabila dilaksanakan dengan menjaga nilai-nilai kebaikan, maka ia tergolong sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang berpahala. Sebaliknya, jika disertai hal-hal yang tercela, maka keluar dari nilai kebaikan.
(Sumber: Al-Haawi Lil Fataawi, juz I, hlm. 282)

3. Fatwa Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi (849–911 H)

As-Suyuthi menjelaskan bahwa hakikat peringatan Maulid Nabi adalah berkumpul, membaca Al-Qur’an, menyampaikan kisah kelahiran Nabi, dan bersyukur atas kehadiran beliau. Biasanya, kegiatan ini dilengkapi dengan hidangan yang dinikmati bersama, lalu ditutup tanpa ada tambahan yang melanggar syariat. Menurut beliau, amalan seperti ini termasuk bid’ah hasanah karena di dalamnya terdapat bentuk pengagungan kepada Rasulullah SAW serta ekspresi kegembiraan atas kelahiran beliau.
(Sumber: Al-Haawi Lil Fataawi, juz I, hlm. 271–272)

4. Pandangan Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari (1287–1366 H)

Pendiri Nahdlatul Ulama ini menegaskan bahwa peringatan Maulid yang dianjurkan para imam adalah dengan berkumpul, membaca Al-Qur’an, meriwayatkan kisah-kisah kelahiran Rasulullah, serta menyajikan hidangan untuk dinikmati bersama. Jika peringatan itu ditambah dengan tabuhan rebana selama tetap menjaga adab, maka hukumnya boleh dan tidak mengapa.
(Sumber: At-Tanbihaat al-Waajibaat, hlm. 10–11)

Kesimpulan

Dari berbagai pandangan ulama, dapat dipahami bahwa memperingati Maulid Nabi bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga sarana menumbuhkan rasa cinta, syukur, dan penghormatan kepada Rasulullah SAW. Selama dilakukan dengan menjaga nilai-nilai syariat, menghindari kemungkaran, serta diisi dengan amal saleh seperti sedekah, pembacaan Al-Qur’an, dan tausiyah, maka peringatan Maulid tergolong sebagai amalan baik yang berpahala.

Dengan demikian, Maulid Nabi adalah momentum untuk menghidupkan kembali ajaran Rasulullah, menebarkan semangat kebersamaan, serta memperkuat rasa syukur kepada Allah atas hadirnya sang Nabi yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

KOTA CIREBON

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12