WhatsApp Icon

Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Hukum-Membayar-Fidyah-dengan-Uang

07/02/2025  |  Penulis: BAZNAS Kota Cirebon

Bagikan:URL telah tercopy
Hukum Membayar Fidyah dengan Uang

Foto : Humas BAZNAS Kota Cirebon

Islam itu agama yang mudah dipelajari dan dijalankan, tetapi kita tidak boleh menganggapnya enteng. Aturan-aturan dalam Islam sangat jelas, namun tetap mempertimbangkan kondisi masing-masing individu. Misalnya, kewajiban puasa Ramadan. Meskipun hukumnya wajib, Islam tetap memberikan keringanan bagi mereka yang memiliki kondisi tertentu sehingga sulit atau bahkan tidak mampu menjalankannya. Penjelasan lebih lanjut tentang keringanan tersebut akan dibahas di sini. Kita perlu memahami bahwa Islam adalah agama yang rahmat, penuh kasih sayang dan bijaksana dalam aturan-aturan yang ditetapkan.
Ibadah puasa merupakan kewajiban bagi setiap muslim dewasa yang sudah terbebani (mukallaf ). Jika seseorang tidak bisa puasa karena alasan tertentu, seperti sedang haid, bepergian jauh, atau sakit, ia harus menggantinya di lain waktu. Bahkan jika sudah tua renta atau sakit parah yang tak kunjung sembuh, ia tetap harus mengganti (qodlo’) puasa yang tidak dilakukannya tersebut di lain hari. Bahkan, ketika orang tersebut sudah tidak mampu berpuasa pun, seperti sakit yang sudah tidak diharapkan sembuhnya, atau sudah sangat tua renta, tetap wajib menunaikan ibadah puasa ini tetapi dalam bentuk membayar fidyah, yaitu memberikan makan (ith’am) kepada faqir miskin. Ketentuan membayar fidyah ini berdasarkan firman Allah dalam surah Albaqarah ayat 184;



“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Melalui ayat ini, Ibnu Hajar Alhaitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj mengatakan, jika seseorang tak mampu berpuasa Ramadan, kita wajib memberi makan orang miskin sebagai fidyah. Hanya orang fakir miskin yang boleh menerima fidyah ini. Memberi fidyah kepada orang lain, seperti petugas zakat atau mualaf, tidak sah dan kita harus membayar fidyah lagi. Sedangkan sisanya tidak boleh menerima. Jika fidyah diberikan kepada selain fakir miskin seperti amil zakat, muallaf dan lainnya, maka hukumnya tidak sah dan wajib membayar fidyah lagi.
Fidyah yang harus dibayar , yaitu satu mud (6-7 ons/tiga perempat liter beras) itu ukuran tangkupan tangan orang dewasa. Seperti pengertian yang dikutip dari kitab nailul marom;
“Fidyah itu makanan yang dibayarkan kepada orang-orang miskin (fakir miskin), ukurannya adalah satu mud gandum (makanan pokok), dan satu mud itu tangkupan penuh kedua telapak tangan orang (dewasa)” … sampai akhir. (Nailul Marom Min Ahkamis Shiyam ‘Ala Thoriqoti Sualin wa Jawabin 25)
Seiring perkembangan zaman, seseorang sudah terbiasa menggunakan uang sebagai alat tukar untuk membeli barang dan jasa. Namun, fidyah sebenarnya bukan tentang uang, melainkan tentang memberikan makanan kepada orang miskin. Secara historis, fidyah berarti ith’am yaitu memberi makan.
Masalahnya, sekarang lebih mudah membayar dengan uang daripada menyiapkan makanan khusus yang berukuran satu mud. Karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya membayar fidyah dengan uang.
Beberapa ulama berpendapat bahwa fidyah harus berupa makanan, karena itu adalah makna aslinya. Mereka berpendapat bahwa memberikan uang tidak memenuhi syarat fidyah karena tidak sama dengan memberi makan langsung.
Ulama lain berpendapat bahwa memberikan uang boleh, karena tujuannya sama, yaitu membantu orang miskin. Mereka berpendapat bahwa memberikan uang kepada orang miskin akan lebih praktis dan memungkinkan mereka membeli makanan yang mereka butuhkan. Maka dalam hal ini, ulama berbeda pendapat akan bagaimana hukumnya.
Sedangkan untuk membayar uang sebagai pengganti memberikan makan (ith’am), maka hal itu tidak dianggap cukup, tetapi tetap harus dengan ith’am, karena Allah telah memerintahkan (dala Al-Qur’an) dengan ith’am. Dia berkata: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” [Al-Baqarah: 184] Tuhan membuat ith’am sebagai ganti puasa. Maka hukum ith’am di sini menjadi tertentu dan harus dilakukan dengan cara tersebut.
Tidak dianggap cukup seseorang membayarkan nilai (uang) sebagai ganti dari ith’am dalam pendapat yang diunggulkan (rojih), yang hal ini berbeda dengan pendapat madzhab hanafiyyah, karena nash ith’am dalam ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” [Al-Baqarah: 184]” (Dari sumber yang sama sebelumnya)
Jadi hukum pembayaran fidyah menurut Mayoritas ulama itu melarang membayar fidyah langsung dengan uang. Namun, jika uang diberikan kepada orang lain untuk membelikan makanan bagi fakir miskin, itu diperbolehkan. Pada hal ini Imam Abu Hanifah mempunyai pandangan tersendiri yakni imam Abu Hanifah malah memperbolehkan pembayaran fidyah langsung dengan uang.
Keberagaman pendapat ulama ini adalah rahmat. Kita tak perlu fanatik pada satu pendapat, karena semua ulama punya dalil kuat. Sebaiknya ikuti pendapat mayoritas, tapi jika terpaksa pakai uang, kita bisa mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah. Kita tidak perlu berfanatik terhadap satu pendapat, kemudian mencela pendapat ulama lainya. Kita tak perlu meragukan ilmu para ulama besar. Pendapat mereka pasti ada dasarnya. Lebih baik mengikuti pendapat mayoritas, tapi jika terpaksa pakai uang untuk fidyah, kita bisa mengikuti mazhab Hanafi. Perbedaan pendapat adalah rahmat.
Editor : Tubagus
Bagikan:URL telah tercopy
Info Rekening Zakat

Info Rekening Zakat

Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.

BAZNAS

Info Rekening Zakat